Pilihan Terakhir

Aku memilihmu.

Dalam segala keputusasaanku,

aku memilihmu.

Kau adalah yang terpilih,

pilihan bukan dari diriku sendiri.

Kau adalah pilihan terakhir,

namun tak bisa diakhiri,

hingga kini.

Matahari sangat terik di luar sana. Itulah saat aku terbangun dari tidurku. Merasa kepanasan dan gerah di dalam kamarku yang sempit, sumpek, dan tanpa kipas angin ataupun pendingin ruangan. Mimpi-mimpi pagi ini, tak satupun yang masih teringat dan tersimpan dalam memori. Dan mimpi malam tak pernah datang, karena begitulah irama sirkadianku. Makhluk insomnia yang berusaha mencari cara dan pencerahan ketika gelap tiba.

Hari ini, aku harus bertemu denganmu. Setidaknya melakukan perjalanan menuju rumahmu. Suatu tempat yang dingin dan berkabut saat pagi dan malam. Jauh dari hiruk-pikuk kota maupun kesibukan kampus dan kuliah. Aku harus menemuimu. Secepatnya.

“Akhirnya, kamu memilih ini?” tanya Mas Anto.

“Seperti saranmu, mas. Aku sudah buntu. Dan kamu datang di waktu yang tepat. Meskipun, bahkan aku belum pernah melihatnya langsung,” kataku menimpali.

“Oke. Nanti kita ke rumah Mas Din. Dia yang akan mengantar kita menemui pilihan hatimu,” kata Mas Anto, lalu menyeruput kopi hitam kesukaannya.

“Semoga keberuntungan bersama kita, mas,” kataku sambil tersenyum sekenanya.

“Mana kopiku?” tiba-tiba Fitri muncul menanyakan kopi.

“Buat sendiri sana. Itu, handukmu. Jemur sana!” kata Mas Anto dengan nada sok memerintah.

“Wuh… Begitu? Oke,” jawab Fitri singkat. Lalu menghilang di balik pintu.

Aku, Fitri, dan Mas Anto berjalan kaki ke rumah Mas Din. Kami melewati jalan aspal menuju jalan setapak dari beton. Rumah di depan itu bergaya limasan. Sangat khas Jawa. Halaman rumahnya luas ditanami bunga dan pohon buah-buahan. Di beranda, ada beberapa sangkar burung yang digantung di antara tiang-tiang kayu. Mas Din sudah berada di kursi kayu di beranda itu. Dia menikmati kopi dan rokoknya sambil sesekali bersiul dan menjentikkan jari kepada burung-burung di sangkar itu.

“Pagi, Mas Din! Wah, nikmatnya… Ngopi-ngopi sambil ngrokok. Bersenda gurau dengan hewan kesayangan,” kata Mas Anto. Dia sempat melirik ke arahku. Yah, aku tahu maksudnya. Ini tentang hewan kesayangan itu.

“Wo… Ya jelas, Mas Anto. Bagaimana Mbak Novi? Bagus kan burung-burungnya?” goda Mas Din.

“Wah, koleksimu tambah mas?” tanya Fitri sambil melihat-lihat burung dalam sangkar itu.

“Ah, tidak juga mbak. Itu sudah lama. Sekarang musim burung madu. Banyak yang cari dan memburu. Tapi ya, begitulah. Masa lalu,” jelas Mas Din. Mas Din dulu memang pemburu burung, meskipun itu bukan pekerjaan utamanya. Sampai akhirnya dia berhenti karena merasa burung-burung yang sering dia jumpai semakin sepi.

“Iya, mas. Bagus. Apalagi kalau sangkarnya dibuka. Lalu, burungnya terbang. Itu lebih bagus lagi,” timpaku tak mau kalah dengan gurauan pagi yang bukan sekedar basa-basi. Harus diakui, hal-hal kecil ini baik untuk mengakrabkan diri. Apalagi, aku memang membutuhkan bantuan Mas Din untuk mengantarkanku bertemu dengan apa yang aku cari. Kami memang harus membangun chemistry, begitu kata orang-orang. Kataku menjadi sahabat adalah salah satu cara mencampurkan segala chemistry pada masing-masing pribadi, dan menjadikannya ikatan persahabatan.

“Yah, kita sarapan dan ngopi-ngopi dulu ya mbak, mas,” sambung Mas Din kemudian.

Empat orang ini bercanda, berkelakar kesana-kemari. Sungguh keakraban pagi yang indah di suatu pegunungan yang sejuk. Kami nyaris lupa, bahwa ada hal yang harus kami lakukan. Masuk hutan. Mencari dia.

Hutan. Bukan. Ini kebun orang. Matahari yang tepat di ubun-ubun terhalang sinarnya oleh kanopi pepohonan. Teduh dan sejuk. Rumpun bambu di depan kami sangat rimbun. Batangnya bergesekan dan menimbulkan bunyi berdencit yang merdu. Daun-daunnya bergemerisik seolah mengiringi derap langkah kaki kami. Tiba-tiba Mas Din yang berjalan di depan kami menghentikan langkahnya.

“Mbak, dulu di rumpun bambu itu ada sarangnya. Mungkin sebaiknya kita periksa disana. Siapa tahu mereka membuat sarang lagi,”     sela Mas Din sambil menunjuk ke rumpun bambu.

Kami mendekat ke rumpun bambu itu. Dan……. Eureka!!! Ini yang aku cari. Inikah yang aku cari? Ruas bambu itu memang tak utuh lagi. Di atasnya ada sabut pohon aren yang bertumpuk-tumpuk. Aku memandanginya, mengamatinya. Dari atas, dari samping. Lalu, memandang ke sekitar. Mungkin ada lagi yang lain.

“Ini bekas sarang?” tanya Fitri kepada Mas Din.

“Iya. Sekitar setahun yang lalu,” kata Mas Din.

“Catat saja, Nov. Setidaknya tempat ini berarti penting untuk si dia yang kamu cari itu,” kata Mas Anto dengan bahasa sok puitisnya.

“Iya, mas. Tentu saja,” jawabku sambil mengeluarkan kamera saku dan buku catatan. Aku memotret bekas sarang tersebut. Memasukkan koin lima ratus rupiah ke dalam bekas sarang, atau bisa dikatakan sisa-sisa sarang itu. Koin itu untuk pembanding. Agar dapat memperkirakan besarnya jika ditampilkan dalam sebuah foto. Fitri sibuk dengan GPS di tangannya. Menentukan titik koordinat kami saat itu.

Mas Anto dan Mas Din sedang bercerita entah tentang apa. Aku sangat sibuk hingga tak terlalu menggubris mereka. Fitri berdiri di sampingku sambil ikut mengamati. Sepertinya kami terlalu terpana melihat bekas rumah burung itu. Hingga tiba-tiba……………

“Tu ti ti tuiiiit… “

Angin berhembus, dedaunan menari.

“Tu ti ti tuiiiit… “

Sungai kecil bergemericik.

“Tu ti ti tuiiiit… “

Datanglah padaku, aku mencarimu.

“Mbak, mbak. Itu suaranya!” Mas Din sudah di sebelahku, setengah berbisik. Kami semua terdiam. Mencari-cari asal suara merdu itu. Mata kami menelisik daun demi daun yang bergoyang tertiup bayu. Aku dan Fitri menggunakan teropong untuk mencarinya di kanopi pepohonan. Dimana makhluk bersuara merdu itu? Dimana? Kami tidak menemukannya. Hingga suaranya hilang. Dia pergi? Kemana? Terbang?

“Belum beruntung…..” cetus Mas Anto.

Hari itu waktu berlari, tak lagi berjalan.

Sore menjelang, waktu untuk kami pulang.

Empat anak manusia di rimbun kebun orang,

 tetap melangkah dengan riang.

Setidaknya kami disambut suara,

meskipun tak bertatap mata.

Malam tiba, gelap melanda. Kabut turun menyelimuti desa. Empat anak manusia bercanda ria di depan beranda rumah bergaya Jawa. Para pria menyelimuti badan dengan sarungnya. Para wanita nampak lebih perkasa karena hanya berkaos lengan panjang saja.

“Kasihan oh kasihan, Novi. Kekasihnya belum mau berjumpa dengannya. Akankah ini indah pada waktunya?” kata Mas Anto mencoba berpuisi lagi. Lalu, senyum-senyum geli gara-gara tingkahnya sendiri.

“Ah, namanya juga usaha mas.. Mungkin memang belum jodoh. Hari ini belum jodoh. Besok harus ketemu,” jawabku dengan rasa agak patah hati.

“Yah, mungkin, Nov. Berdoa saja ya! Demi tugas akhirmu. Dan, segeralah menjadi sarjana!” Fitri mencoba menyemangatiku. Dia tersenyum sembari mengangkat kopinya lalu menyeruputnya.

“Tetaplah menjadi burung di sangkar……. Agar cinta kita akan abadi………” tiba-tiba Mas Anto menyanyi dengan nadanya yang sumbang. Saat itu, Mas Din sedang menyeruput kopinya. Dan…….

“Brrrrfffffffuuaaahhhhhh…..” Mas Din menyemburkan kopinya karena tertawa mendengar nyanyian Mas Anto. Mas Din akhirnya terbatuk-batuk. Dan, kami tertawa geli karena tingkah Mas Din.

Aku mungkin belum berjumpa langsung dengan dia, burung yang kupilih sebagai subyek penelitian skripsiku. Aku masih harus mencarinya lagi. Di antara rimbun pepohonan. Melalui jalan terjal yang kadang berbatu, kadang berlumpur. Tapi, semangat pantang padam. Apalagi, ada orang-orang ini yang akan selalu mendukungku. Dan terlebih lagi, demi kebebasan dia yang terpilih. Dia yang sayangnya, mungkin tak mengerti dan memahami apa yang sedang aku lakukan. Dia yang tak mengerti, bahwa jatuh bangunku berkali-kali untuk dapat menjumpainya dan lebih mengenalinya. Dia yang begitu menyita waktuku, tapi entah mengapa aku menyukainya. Dia mungkin tak akan pernah tahu selamanya. Bahwa, dia adalah pilihan yang “mau tak mau” pada awalnya. Tapi saat aku mendengar suaranya, sepertinya aku merasakan getaran di dadaku. Dan aku ingin merasakannya lagi dengan lebih mengenalnya. Meskipun aku tahu, aku akan sangat mengganggu karena menguntitnya. Yah, aku akan selalu menyukainya terbang bebas di alam terbuka sana. Terbang dan bernyanyi tanpa beban, tanpa tahu betapa aku ingin mengenalnya.

Dan sekarang aku merasa terlalu terikat.

Dekat.

Erat.

Meskipun kau tak akan mengerti,

yang aku lakukan ini, karena aku peduli.

Itu yang aku sadari,

setelah suara merdumu menyambutku di kala itu.

 

Leave a comment