Sambil Menikmati Hijaunya Arboretum Kampus

Sekarang aku sedang duduk sendiri di bangku beton. Tepatnya di belakang laboratorium. Tembok belakang laboratorium dihiasi jendela-jendela kaca dengan kisi-kisi alumunium berbentuk bujur sangkar dan beberapa kipas. Kipas itu untuk menjaga sirkulasi udara di dalam ruang laboratorium agar tetap segar. Karena laboratorium memanglah identik dengan bahan-bahan kimiawi. Dan tiang-tiang di beranda belakang berupa silinder-silinder beton yang tak mampu kupeluk.

Di depanku adalah Arboretum Biologi yang lebat daun hijaunya. Pohon-pohon kenari menjadi pagar tertinggi melebihi pagar besi. Sekarang sudah lewat tengah hari. Otomatis matahari condong kea rah barat. Menyinariku, seandainya tak ada pohon-pohon kenari di depanku. Semua itu membuat daun-daun Nampak indah. Laksana hijau yang disepuh lembut oleh tinta emas. Apalagi ketika bayu-pun membelai mesra tiap helai daunnya. Pohon-pohon itu seolah menari, dan terlarut dalam simfoni alam. Mengajak, merayu untuk masuk ke arboretum itu.

Ketika angin Sang Batara Bayu mengusik lebih berisik, daun-daun kuning jatuh gugur. Terlepas dari tangkainya. Membebaskan dirinya dari system kehidupan menuju kematian yang akan meneruskan kehidupan. Terurai oleh jamur dan bakteri, atau jasad renik lainnya.

Namun daun-daun kuning yang berserakan terlihat menawan. Membawa romantisme yang agak jenaka. Bahwa mungkin daun-daun hijaupun memperhatikan mereka. Dan suatu saat akan berakhir seperti mereka. Setelah menyelesaikan tugasnya membangun system kompleks dan kokoh sebuah pohon kayu, pohon kenari.

Tempat ini dekat dengan jalan raya. Arboretum berbatasan langsung dengan trotoar, lalu jalan raya. Trotoar yang terlanjur sepi. Karena pejalan kaki was-was menapaki jalan dimana di atasnya adalah kerajaan burung Cangak Abu dan Kowak-malam Kelabu yang sering sembarangan memupuk lantai bawah dengan sisa-sisa makanannya. Tentu saja, karena dekat dengan jalan raya, berisik kendaraan menderu. Membuat udara semakin kelabu. Tapi selalu ada yang terdengar merdu. Suara kicau burung-burung masih lekat di telingaku. Aku mendengar suara Cucak Kutilang, Takur Ungkut-ungkut, dan tentunya ramai Cangak Abu di atas pohon arboretum kampusku. Juga, hey.. aku mendengar suara Cekakak Sungai yang sesekali menyela nyanyian burung-burung lainnya.

Ada yang lain di arboretum kampusku. Sosok itu beberapa kali kulihat keluar-masuk dari situ. Rambutnya hitam agak kusam. Menutupi seluruh anggota badan. Dia menengok dari pintu gerbang. Menyelidik lalu menguap. Melihat ke arahku sekejap tanpa peduli atau rasa ingin tahu. Lalu masuk berlari kecil-ringan di keempat kakinya yang mungil. Sejak kapan ada anjing hitam disini? Biasanya yang kulihat adalah kucing. Iya, arboretum itu kuanggap kerajaan kucing juga. Dan burung-burung di atas kanopinya adalah prajurit penjaga benteng. Atau sebaliknya.

Aku bertanya-tanya tentang si anjing hitam. Bagaimana bisa dia sampai di tempat ini? Akan terasa sedih jika ternyata dia dibuang olh pemiliknya. Atau mungkin jika ternyata dia hilang, bukan dibuang. Aku tak tahu perasaan si anjing hitam. Tapi dia tidak menyalak atau menggonggong. Blacky hanya berlari kesana-kemari di arboretum sana. Sambil sesekali keluar melihat situasi. Aku, entah mengapa berusaha menarik perhatiannya ketika dia muncul. Berdecak, bersiul. Tapi, Blacky tidak peduli. Oh, lihat! Aku telah menamainya: Blacky. Dan aku sedang menunggu Blacky muncul lagi di depanku. Dengan lidahnya yang merah muda, menjulur. Aku menunggu Blacky muncul, lalu menatapku lekat. Jika dia cukup penasaran padaku. Sebagaimana aku penasaran pada kebebasannya di hutan buatan yang Nampak nyaman. Meskipun ketika aku masuk ke dalamnya, nyamuk-nyamuk haus darah segera menjadikanku santapan mereka. Dan yang tertinggal adalah rasa gatal yang meresahkan.

Aku mendengar nyaring nyanyian Cinenen. Sesaat tapi cukup untuk membangunkanku dari lamunan sejenak karena melihat beberapa sepeda motor di jalan aspal antara aku dan arboretum. Baru saja 3 ekor burung Cucak Kutilang menarik perhatianku sesaat sebelum mereka pergi menghilang dari pandang. Dua ekor burung yang atraktif hinggap-terbang dari batang pohon kenari ke kabel listrik hitam. Ketika berada di pohon kenari, dua ekor burung itu mematuk-matukkan paruhnya. Mereka mencari makan. Mungkin ada serangga di batang pohon. sedangkan seekor lagi asyik saja mengamati dari kabel listrik dan mengikuti terbang ketika dua ekor lainnya terbang pergi.

Di bagian utara arboretum, ada sekelompok mahasiswa duduk bergerombol. Uniknya, latar mereka tepat di sepanjang tumbuhnya bunga air mata pengantin yang merambat di pagar besi. Bunga-bunganya yang merah muda sedang mekar di musim kemarau ini. Di arboretum juga ada pohon randu alas. Di musim ini daun-daunnya berguguran. Tapi, bunganya yang oranye-merah atau kuning terlihat indah melekat pada tangkai, dahan, dan warna kulit pohon yang keperakan diterpa sinar jingga matahari. Tak ada sakura, randu alas-pun jadi.

Well, mungkin sebaiknya aku beranjak dari tempat ini. Aku ingin memandang sejenak pohon randu alas dari tempat yang lebih terlihat. Karena dari sini hanya bisa mengintipnya sedikit saja.

 

Arboretum Biologi atau lebih dikenal dengan sebutan Kebun Biologi

Arboretum Biologi atau lebih dikenal dengan sebutan Kebun Biologi

*Sayangnya, belum ada foto hasil jepretan sendiri. Bila sudah mendapatkannya, akan diupdate as soon as possible 🙂

Leave a comment