Perjalanan Menuju Rumahmu

Hai, Faiz. Apa kabar? Kamu pasti sedang senyum-senyum di rumah barumu sambil menikmati sekaleng bear brand dingin. Tak ada lagi sakit maag, tak ada lagi keharusan jogging agar badanmu tetap fit. Nikmatnya ya.

Kabar itu kudengar pada suatu sore yang mendung. Aku baru saja bangun dari tidur siangku yang kebablasan. Kabar mengagetkan yang kuharapkan mimpi semata. Bukan nyata. Sungguh!

Aku dan Nisa yang kelimpungan dalam kepanikan mencari kebenaran kabar tentangmu. Nisa mendadak menelponku, suaranya sesenggukan menangis. Aku? Aku hanya bingung. Antara mengumpulkan nyawaku kembali dan berharap itu sungguh hanya mimpi. Bukan nyata. Sungguh, Faiz.

Rabu, 7 Januari 2015. Aku akan mengingat hari itu, Iz. Hari dimana aku tak akan lagi bisa bercanda gurau denganmu. Hari dimana kita tak bisa lagi chatting di facebook sekedar menanyakan kabar dan pencapaian cita-cita aku dan kamu. Kamu, telah pergi dari dunia ini, dunia yang kini masih aku tinggali. Menuju dunia tempatku akan pergi. Tapi, ternyata memang kamu harus kesana terlebih dulu, Iz.

Sore itu aku masih di rumahku. Bersama ayah dan ibu. Mau menangispun tak mungkin. Daripada mereka panic dan aku diberondong pertanyaan, aku hanya mencoba sekuatnya untuk menjadikannya biasa saja. Tapi, Iz… itu hanya untuk sementara. Aku menghubungi anak-anak ekspedisi yang lain. Merencanakan ini itu untuk datang menemuimu. Aku masih sempat menjadi gila. Sengaja mengirim chat di FBmu. Bertanya apakah ini benar-benar terjadi. Aku gila kah, Iz?

Keesokan harinya, hari Kamis, 8 Januari 2015, aku naik bis dari Wonosobo menuju Jogja. Aku janjian dengan Theo, berangkat ke Bogor via Jogja. Sampai di Jogja sudah sore. Bis kami berangkat pukul 3 sore seharusnya, tapi agak telat ternyata. Aku tak sempat pulang ke kosan sekedar mengambil baju ganti dan meletakkan laptop. Entahlah, aku pasti Nampak sangat kacau saat itu. Akhirnya aku dan Theo bertemu di Terminal Jombor, naik bis Pahala Kencana menuju Bogor.

Jumat, 9 Januari 2015 pagi hari. Aku dan Theo sampai di Bogor. Kami turun di terminal bis Baranang Siang. Lalu sarapan bubur di kaki lima dekat situ. Bertanya pada pak pengatur lalu lintas, naik angkot mana untuk sampai di rumahmu. Setelah sarapan, kami langsung bergegas ke rumahmu, Iz. Dan, sampailah kami disana. Disambut pamanmu, lalu ibumu, lalu ayahmu. Dan juga nenek dan adikmu. Ibumu masih terus menangis. Ayahmu masih menyembunyikan kesedihan yang tegar dan sedikit terbesit marah atau kecewa yang tak bisa aku ungkapkan. Aku hanya bisa merasakan auranya saja. Hampa yang cukup menyayat hatiku. Karena begitu pula aku, merasa kehilanganmu. Menyesali, mengapa tak aku ajak kamu jalan-jalan ke gunung bersamaku. Mengapa ya Iz?

Denyu juga datang ke rumahmu hari Jumat itu, Iz. Bersama adikmu, kami berbincang membicarakan tentangmu, tentang kita. Adikmu yang sangat ingin tahu seperti apa kamu. Dan tahukah kamu, Iz? Aku sangat senang, malamnya aku menginap di rumahmu dan memimpikanmu. Kamu datang memakai kaos putih lengan biru yang pernah kamu pakai ketika datang ke Jogja. Dalam mimpiku, ada juga anak-anak yang lain. Kami berkumpul menunggu kedatanganmu. Dan aku marah-marah karena kamu muncul-menghilang dalam mimpiku. Sungguh, Iz. Aku berharap kaulah itu yang hadir di mimpiku. Dan kamu hanya diam saja saat itu.

Keluargamu penuh kehangatan, Iz. Aku suka mendengarkan ibundamu bercerita macam-macam. Aku suka mendengarkannya bercerita tentangmu tanpa harus menitikkan air mata. Betapa beliau merasa sangat kehilangnmu karena beliaulah yang sangat dekat denganmu.

Dari balkon rumahmu, aku bisa melihat Gunung Salak yang menawan diterpa sinar matahari senja. Apakah ketika kau di rumah, kau juga menikmati pemandangan itu, Iz? Aku senyum-senyum saja berharap aku berdiri di tempat dimana kamu pernah berdiri sambil memandangi indah dan nikmat ini. Meskipun akhirnya aku tahu, kamu lebih menyukai Bandung daripada Bogor. Dan lebih sering di Bandung daripada di rumahmu.

Adikmu itu, Iz. Mirip sekali denganmu. Perawakannya. Hobinya juga. Sama-sama suka naik gunung dan mapala. Ah, aku juga kan? Hehehe…. Malam-malam kami sempat ngemil roti bakar sambil bercerita tentangmu ketika ekspedisi. Aku senang karena adikmu masih bisa tertawa. Meskipun aku sempat mengamati bahwa dia murung dan sedih. Salah satunya ketika aku, Theo, dan adikmu menemuimu di rumah barumu. Maaf, Iz…. Aku menangis saat itu. Aku selalu mengumpamakan tangis itu mengiris jiwa orang yang ditangisi. Tapi, aku tak kuat. Masih tak percaya. Aku tak bisa melihat wajahmu yang katanya tersenyum dalam tidur abadi. Aku hanya bisa member dua kuntum bunga kaca piring putih yang aku petik dari tanaman di dekat rumah barumu. Dan tentunya, aku berdoa yang terbaik untukmu.

Di rumahmu, aku seperti sedang digemukkan. Ibumu terus menerus memberikan makanan. Hingga aku kekenyangan. Yah….. Kata adikmu, mumpung di Bogor, sebelum kembali ke Jogja.

Sabtu, 10 Januari 2015. Aku dan Theo masih di rumahmu. Pagi-pagi buta Denyu sudah harus pulang ke Jakarta karena harus bekerja. Aku dan Theo menunggu anak-anak yang lainnya, Cebong, Nisa, Ulum, Tasya, Rima, Badar, Nui, dan Kak Dini. Siang harinya, kamipun menemuimu di rumah barumu.

Dan di hari Sabtu itu, kami harus berpamitan. Kami harus ke Jakarta. Keretaku, Theo, dan Cebong berangkat dari St.Ps.Senen hari Minggu pagi.

Minggu pagi, 11 Januari 2015 , kami berangkat ke stasiun. Dan kami nyaris terlambat. Berlari-lari mencetak tiket. Dan ternyata kereta datang telat. Baru kali ini aku bersyukur karena kereta terlambat datang dan berangkat.

Aku melihat awan putih di atas kota Jakarta. Aku membayangkanmu sedang terbang di antaranya sambil tertawa ceria. Apakah aku gila? Tanpa terasa, mataku mulai mendung, begitu seterusnya jika teringat kamu, Iz.

Ah, Faiz. Andai saja aku ke rumahmu saat kamu masih bisa tertawa bersama kami dari satu dunia yang sama. Sebagaimana aku membayangkan kamu tiba-tiba muncul di antara kami sambil berkata ‘’ono opo?’’ ketika kami mengingat cerita tentangmu. Sebagaimana aku membayangkan kamu tiba-tiba menyapa ‘’Lagi apa, Nuri?’’ ketika aku melamun. Sebagaimana aku ingin mengepang rambutmu lagi tanpa kamu marah. Sebagaimana kita minum susu bear brand di depan poskotis. Sebagaimana kita ke warung biru dan membeli es krim, naik motor yang dipakai Pak Sani,meskipun jarak poskotis dan warung hanya beberapa meter saja.

Ah, Faiz. Aku merindukanmu. Mengapa aku baru menyadarinya ketika kamu sudah di rumah barumu?

Smile in peace….. Aku akan tetap semangat berkarya, syukur kalau bisa mewujudkan citamu dan citaku juga.

Menyesakkan juga, perbincangan kita tentang hidup dan mati dan gunung dan SAR dan politik dan semuanya itu……. Kembali terngiang seolah baru kemarin. Dan aku baru ulai mengingat detail-detail itu justru saat kamu sudat tak lagi bisa kupeluk seperti kala itu. Pelukan sahabat yang tak ingin berpisah. Meskipun akhirnya tak lama kemudian kita berjumpa lagi. Sungguh, Faiz. Sungguh…… Perjalanan menuju rumahmu dan dari rumahmu itu, dipenuhi hampa dan awan mendung. Karena itu aku ingin minta maaf. Bukankah baiknya aku mengingat hal-hal baik dan menyenangkan. Sehingga ketika aku harus teringat padamu, aku akan tersenyum bukannya menangis seperti belakangan.

IMG_9619

IMG_9649

IMG_9676

DSCN0086

IMGP5811

DSCN9972

IMG_1189

IMG_4927

Leave a comment