Anca, sebuah desa di tepi Danau Lindu : Part 2

Jalan menuju Anca itu melewati Sadaunta. Dari Sadaunta, terus kita berjalan melewati kebun penduduk yang ditanami kakao/coklat atau kopi. Jalannya jalan tanah berbatu. Kalau tidak hujan, tanahnya ikut terbang bersama jejak kaki yang kita tinggalkan. Beberapa jalan teduh. Beberapa panas terik. Di kiri kita adalah tebing menjulang ke atas dengan bekas tanah dikeruk atau bekas longsor. Di sebelah kanan kita juga adalah tebing atau tepatnya jurang yang melandai curam ke bawah. Di bawah sana ada sungai kecil yang mengalir. Kadang bukan sungai, melainkan timbunan tanah longsoran dari tebing atasnya.

Bagiku berjalan kaki menjadi ekspedisi tersendiri yang menyenangkan, ndes. Jalannya memang jauh. Waktu itu, aku perlu menghabiskan waktu berjam-jam dari Sadaunta ke Anca. Dari pagi, hingga sore barulah sampai. Kendalanya sederhana, aku dan kawanku terlalu asik mampir ke desa-desa sebelum Anca. Karena, tim lainnya ada disana juga.

Struktur tanah dan batuan di tebing itu rapuh, ndes. Aku lupa istilah geologisnya. Pak Prof. Subagja pernah mengatakan padaku istilahnya. Tapi, aku lupa. Mungkin kamu bisa mencari di Google (lagi). Nah, tebing itu mudah longsor. Apalagi kalau hujan, ndes. Air yang meresap ke tanah itu memang ditahan oleh akar-akar tumbuhan. Itupun masih longsor, mungkin karena tebing itu dikeruk. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Yap, mungkin itu peribahasa yang lumayan mewakili. Dulu, tahun sekian ketika terjadi lindu di Danau Lindu, akses menuju desa-desa di sekitar danau itu tertutup sama sekali, ndes. Jalan setapak itu harus dikeruk agar bisa dilewati. Tapi, mungkin bukan karena itu juga, jika daerah ini rawan longsor. Tebing menganga itu banyak berbicara, ndes. Tapi intinya adalah ‘’berhati-hatilah padaku, aku rapuh.’’

Sesekali, kita berpapasran dengan ojek atau pengendara motor lainnya, ndes. Nah, saat itu kami, kita, mereka saling member jalan. Seperti kataku tadi, itu jalan setapak yang tak cukup lebar untuk satu mobil di beberapa titik. Yap, di beberapa titik (yang cukup banyak sebenarnya) hanya bisa satu orang atau satu motor menguasai jalan itu. Ohya, ndes. Ada yang menarik disana. Seorang bapak tua yang sepertinya bertugas berjaga di satu titik longsor dan membersihkan area itu agar orang-orang bisa tetap lewat. Ketika aku kesana, disana ada pohon tumbang. Dan bapak itu ada disana untuk menyelesaikan masalah keruwetan lalu lintas yang ramai tapi sepi.

IMG_7504

rumah-rumah dalam perjalanan ke Anca, kalau tidak keliru, ini di Puroo atau mungkin Langko. hehehe

IMG_7602

rumah panggung

Nah, ndes. Hutannya masih bagus. Hijau. Burung-burung berkicau.

Desa pertama setelah Sadaunta yang akan kamu singgahi disana adalah Puroo, dilanjut Langko, lalu Tomado. Barulah kamu akan menemukan Anca yang damai itu. Tepat di tepi Danau Lindu. Masyarakat Anca kebanyakan beragama Katolik. Aku tak ingin membahas agama sebenarnya, ndes. Bagiku itu bukan masalah yang menjadi focus utama. Tapi toleransinya memang luar biasa. Itu yang luar biasa. Maksudku, mereka tidak menganggapku ancaman hanya karena aku orang asing yang ingin menelusupi hutan-hutan dan kebetulan dengan kerudung di kepalaku, itu jarang ada yang mengenakannya disana, ndes. Itu tidak penting sebenarnya. Atau penting? Aku ingin menceritakan padamu damai dan menyenangkannya beberapa hari hidup dan tinggal disana. Tapi ini subjektif, ndes. Dan aku mungkin terlalu lebay meresapinya. Dan membandingkannya dengan tempat ramai atau kota. Jadi ini memang subjektif, ndes. Tapi inspiratif untukku. Hingga aku menulis ini untukmu. Meskipun mungkin kamu tak akan pernah membacanya atau menggubrisnya.

Kamu tahu mengapa namanya ANCA? Kata seorang bapak, yang aku lupa namanya. Mungkin namanya Pak Alex. Di desa itu dulunya sangat banyak pohon Anca/mangga kweni. Hingga namanya disebut Anca. Dan aku beruntung bisa menikmati anca di Anca. Aku anggap itu keberuntungan. Daripada tidak ada keberuntungan apapun. Karena disini mungkin tidak ada kesialan. Ah, apa yang aku bicarakan, ndes?

IMG_8018

Anca alias Mangga Kweni

 

IMG_7842

Pak pemandu, mengupas anca

Leave a comment